Pendidikan Gratis untuk Pemulung

Menuntut ilmu bisa dilakukan di mana dan kapan saja. Itulah yang dilakukan para pemulung di Sekolah Alam Tunas Mulia Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Lelah memulung di pagi hari tak membuat mereka berhenti menuntut ilmu. Seperti yang dilakoni Kaimin.

Tumpukan sampah adalah tumpuan hidup Kaimin. Hujan rintik tak menghalanginya bekerja. Seperti pagi biasanya, Kaimin bertugas memilah sampah plastik di Tempat Pembuangan Sampah Akhir Bantar Gebang. Penghasilan Rp 10 ribu per hari diberikan pada orangtua.

Lelah bekerja tak membendung keinginan belajar bocah 14 tahun ini. Di siang hari, Kaimin berangkat sekolah berusaha mengejar cita-citanya menjadi tentara atau pemain sepakbola.

Kaimin hanyalh satu dari 150 siswa Sekolah Alam Tunas Mulia. Sebagian besar siswa memang bekerja sebagai pemulung. Pelajaran di sekolah yang didirikan salah satu yayasan dan beberapa sponsor ini sesuai kurukulum bagi siswa setara TK, SD, dan SMP. Yang paling penting sekolah ini gratis.

Sekolah dimulai pukul 13.00 WIB hingga 17.00 WIB. Waktu ini dipilih untuk menyesuaikan kegiatan siswa yang sebagian besar pemulung. Keterbatasan ruangan dan 10 tenaga pengajar pun membuat siswa tak bisa belajar setiap hari. Pendidikan ternyata belum menyentuh semua. Beruntung Kaimin dan kawan-kawan bisa mengecap bangku sekolah lewat swadaya masyarakat. liputan6.com


[+/-] Selengkapnya...

Tak Hendak Mencetak Bocah Super

Akhir tahun lalu, Ari Mustikawati dan Baskara memikirkan kelompok bermain untuk Raihan, anak mereka. Raihan memang masih berumur 20 bulan, tapi Baskara, 32 tahun, ingin anaknya mendapatkan pendidikan sejak dini. Tujuannya, "Paling tidak Raihan bisa bersosialisasi dulu," kata Baskara di rumahnya, Menteng Atas, Jakarta Pusat, Selasa lalu.

Ada banyak kelompok bermain yang menawarkan macam-macam program, di antaranya program cepat membaca, menulis, dan berhitung untuk anak di bawah usia tiga tahun. Tapi Ari dan Baskara tak memilihnya untuk Raihan. "Kasihan kalau anak sekecil itu sudah diharuskan membaca dan menulis," ujar Ari. Keduanya akhirnya memilih kelompok bermain di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Pertimbangannya karena dekat dengan tempat kerja Ari.

Selain Raihan, Seto, yang kini sudah 7 tahun, juga ikut kelompok bermain di dekat rumahnya sejak masih sangat muda, 28 bulan. Berbeda dengan kelompok bermain Raihan, kelompok bermain yang tak jauh dari rumah Seto di Rawamangun, Jakarta Pusat, itu mengajarkan berhitung, membaca, dan menulis.

Bayu, 36 tahun, dan Erwin Pratiwi, 33 tahun, orang tua Seto mengaku tidak begitu paham tentang sistem pendidikan prasekolah. "Saya kira memang begitu," kata Bayu melalui telepon, Rabu lalu. Karenanya, tak aneh jika Seto sudah bisa membaca dan menulis sejak usia lima tahun. Kini, kata Bayu, setelah anaknya kelas 1 SD, kemampuan membaca dan menulisnya lebih baik dari teman-temannya yang tidak diajarkan sebelumnya. Kelemahan Seto, kata Bayu, hanya berhitung.

Masalahnya, apa yang perlu dipertimbangkan ketika akan memilih pendidikan prasekolah? Pakar pendidikan anak usia dini Mutiara Padmosantjojo mengatakan, hal yang harus diutamakan ketika memilih prasekolah untuk anak adalah suasananya yang harus menyenangkan. "Bukan bertarget mencetak super kid yang mahir membaca, menulis, dan berhitung," kata lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu, Selasa lalu.

Pengetahuan membaca, menulis, dan berhitung, kata Mutiara di Singapura, idealnya diberikan kepada anak saat berusia 7 tahun. Tapi sebagai pengenalan, bolehlah diberikan kepada anak usia taman kanak-kanak dan prasekolah. Karena hanya pengenalan, penyampaiannya tidak boleh dipaksakan. Jika dipaksakan, anak akan takut belajar lantaran suasananya tidak menyenangkan.

Menurut Mutiara, mengajari anak tentang keterampilan belajar lebih penting ketimbang mengutamakan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Keterampilan belajar merupakan dasar agar anak selalu tertarik belajar sepanjang hidupnya. Keterampilan belajar ini meliputi kemampuan mengenal dan menerima dirinya sendiri, rasa ingin tahu yang besar, inisiatif, tanggung jawab menyelesaikan tugas secara mandiri dan kelompok, menyelesaikan masalah, serta kemampuan bekerja sama dengan orang lain.

Mutiara mengingatkan, proses belajar anak masih panjang, sekitar 15 tahun atau bahkan 20 tahun lagi. "Jika awalnya tidak menyenangkan, bagaimana selanjutnya?"

Pendidikan prasekolah yang ideal, kata peraih gelar Master of Science in Education dari University of Groningen, Belanda itu, adalah yang bisa mencetak manusia cerdas seutuhnya. Bukan hanya mampu menulis, membaca, dan berhitung saja, tapi juga harus cerdas secara fisik, intelektual, emosi, dan spiritual.

Kecerdasan fisik, misalnya, bisa membuat anak berlari atau melompat. Kecerdasan intelektual membuat anak berkemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Cerdas emosi membuat anak mampu merespons setiap peristiwa sosial di sekitarnya. Sedangkan cerdas spiritual tidak hanya membuat anak bisa mengamalkan nilai-nilai yang diajarkan agama saja, tapi juga mengenai cinta kasih sesama makhluk hidup.

Mutiara sangat menyayangkan pendidikan prasekolah yang hanya mengajarkan anak membaca, menulis, dan berhitung. Anak akan minim pengetahuan dalam keterampilan belajar. Bahkan, bisa menyebabkan anak menjadi tidak mau belajar lagi karena terlalu dipaksa. "Keunggulannya mungkin anak lebih cepat bisa membaca, menulis, dan berhitung," jelas Mutiara.

Pendidikan prasekolah yang mengajarkan keseimbangan antara intelektual, emosi, spiritual, dan fisik, lebih banyak positifnya ketimbang negatifnya. "Kelemahannya mungkin hanya kemampuan membacanya agak lambat," ujarnya.

ERWIN DARIYANTO

Memilih untuknya:

1. Perhatikan:
- Karakteristik anak. Pertimbangkan kepribadiannya, gaya belajar, serta kebutuhan khususnya.
- Karakteristik keluarga, seperti nilai keluarga, kemudahan transportasi, dan kemampuan finansial.
- Karakteristik sekolah, seperti filosofi sekolah, kurikulum, metode belajar, keamanan, dan reputasi.
2. Datanglah ke sekolah untuk mengetahui visi, misi, dan penerapan kegiatan belajar-mengajar.
3. Percayalah pada "insting" saat berkunjung ke sekolah.
4. Sesudah menentukan sekolah:
- Siapkan mental anak. Bacakan cerita atau menonton film tentang asyiknya bersekolah.
- Ajak anak berkenalan dengan guru sebelum sekolah mulai.
- Ajak anak menyiapkan tas dan keperluan sekolahnya sebelum hari H.
- Beri dukungan terus-menerus. Orang tua sebaiknya juga memantau apa yang dilakukan anak di sekolah dan membantu berpartisipasi di sekolah semampunya.tempointeraktif.com



[+/-] Selengkapnya...

Google Singgahi Desa Terpencil di Afrika

Radiokah itu? Atau TV? Itulah pertanyaan yang terlontar oleh sebagian warga Entasopia, Kenya, saat diputarkan video streaming. Raksasa internet Google coba menghadapi kesenjangan digital ini dengan menyambangi mereka untuk memperkenalkan internet ke desa-desa terpencil di Afrika.

Dikutip dari New York Times, Kamis (5/2/2009), aksi ini dilakukan oleh tiga orang mahasiswa dari University of Michigan yang disokong sepenuhnya dari Google. Mereka pergi menuju daerah safari Entasopia di Kenya untuk coba menginstal perangkat satelit kecil dengan tenaga panel solar untuk bisa terkoneksi ke internet.

Meskipun menyediakan akses internet bukanlah termasuk bidang garapan Google, namun sepertinya menghadirkan koneksi satelit yang lebih cepat dan lebih stabil di daerah tersebut menggugah raksasa internet ini untuk terjun.

Di tengah krisis yang dialami Google sendiri dan PHK yang mereka lakukan beberapa waktu lalu, Google masih menyisihkan dana untuk program ini dan membayar biaya untuk bandwith satelit per bulannya.

Walaupun banyak keuntungan yang akan bisa didapat oleh warga setempat, namun kendala yang mesti dihadapi juga tak kalah besar. Selain masyarakat masih 'buta' internet, sebagian besar remaja di sana, khususnya perempuan, belum bisa membaca.

Entasopia yang lebih cocok untuk berwisata safari ini memang sangat terbelakang. Dengan sekitar 4.000 warga, mereka tidak memiliki fasilitas-fasilitas umum seperti bank, kantor pos dan infrastruktur penting lainnya. Bahkan surat kabar hanya datang setiap 3 atau 4 minggu saja.

Ya kita tunggu saja hasilnya, apakah dengan adanya internet kehidupan mereka bisa lebih maju atau malah ketidakefektifan yang didapat? detik.com

[+/-] Selengkapnya...

210 Anak Asah Otak lewat Gambar dan Mewarna

Sebanyak 210 anak usia 4 tahun hingga 10 tahun kemarin mengikuti lomba mewarna dan menggambar. Kegiatan tersebut dilakukan untuk mengasah ketrampilan dan perkembangan otak anak di bawah 10 tahun.

Kegiatan lomba mewarna dan menggambar tersebut digelar sejak pukul 08.00 di halaman Klinik Tedja Husada. Bagi peserta usia 4 tahun hingga 6 tahun masuk lomba mewarna. Sedangkan kelompok usia 7 tahun hingga 10 tahun mengikuti lomba menggambar. "Perlengkapan juga sudah kami siapkan. Tergantung kreativitas anak saja," kata Ketua Pelaksana Kegiatan Tito Hari Pradianto, saat ditemui kemarin.

Lomba menggambar tersebut merupakan ajang kreativitas para anak. Dengan cara tersebut, ketrampilan anak bisa terasah dan terukur kemampuannya. Terlebih ketrampilan tersebut dapat memacu perkembangan otak. Terutama pada saat memberi warna. "Memadu warna juga dapat memacu perkembangan otak anak," tambahnya.

"Mereka merupakan generasi bangsa. Jadi patut untuk dididik agar lebih berkembang lagi," sambung Tito, yang juga Direktur Klinik Teja Husada, kemarin. Sedangkan kegiatan ini dalam rangkaian ulang tahun ke-4 Klinik Teja Husada. Selain mengadakan lomba mewarna dan menggambar, rencananya Sabtu mendatang akan diadakan seminar tentang stroke dan kepikunan. Karena banyak sekali pasien yang berkunjung ke klinik mengalami penyakit stroke maupun pikun. jawapos.com


[+/-] Selengkapnya...