Tak Hendak Mencetak Bocah Super

Akhir tahun lalu, Ari Mustikawati dan Baskara memikirkan kelompok bermain untuk Raihan, anak mereka. Raihan memang masih berumur 20 bulan, tapi Baskara, 32 tahun, ingin anaknya mendapatkan pendidikan sejak dini. Tujuannya, "Paling tidak Raihan bisa bersosialisasi dulu," kata Baskara di rumahnya, Menteng Atas, Jakarta Pusat, Selasa lalu.

Ada banyak kelompok bermain yang menawarkan macam-macam program, di antaranya program cepat membaca, menulis, dan berhitung untuk anak di bawah usia tiga tahun. Tapi Ari dan Baskara tak memilihnya untuk Raihan. "Kasihan kalau anak sekecil itu sudah diharuskan membaca dan menulis," ujar Ari. Keduanya akhirnya memilih kelompok bermain di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Pertimbangannya karena dekat dengan tempat kerja Ari.

Selain Raihan, Seto, yang kini sudah 7 tahun, juga ikut kelompok bermain di dekat rumahnya sejak masih sangat muda, 28 bulan. Berbeda dengan kelompok bermain Raihan, kelompok bermain yang tak jauh dari rumah Seto di Rawamangun, Jakarta Pusat, itu mengajarkan berhitung, membaca, dan menulis.

Bayu, 36 tahun, dan Erwin Pratiwi, 33 tahun, orang tua Seto mengaku tidak begitu paham tentang sistem pendidikan prasekolah. "Saya kira memang begitu," kata Bayu melalui telepon, Rabu lalu. Karenanya, tak aneh jika Seto sudah bisa membaca dan menulis sejak usia lima tahun. Kini, kata Bayu, setelah anaknya kelas 1 SD, kemampuan membaca dan menulisnya lebih baik dari teman-temannya yang tidak diajarkan sebelumnya. Kelemahan Seto, kata Bayu, hanya berhitung.

Masalahnya, apa yang perlu dipertimbangkan ketika akan memilih pendidikan prasekolah? Pakar pendidikan anak usia dini Mutiara Padmosantjojo mengatakan, hal yang harus diutamakan ketika memilih prasekolah untuk anak adalah suasananya yang harus menyenangkan. "Bukan bertarget mencetak super kid yang mahir membaca, menulis, dan berhitung," kata lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu, Selasa lalu.

Pengetahuan membaca, menulis, dan berhitung, kata Mutiara di Singapura, idealnya diberikan kepada anak saat berusia 7 tahun. Tapi sebagai pengenalan, bolehlah diberikan kepada anak usia taman kanak-kanak dan prasekolah. Karena hanya pengenalan, penyampaiannya tidak boleh dipaksakan. Jika dipaksakan, anak akan takut belajar lantaran suasananya tidak menyenangkan.

Menurut Mutiara, mengajari anak tentang keterampilan belajar lebih penting ketimbang mengutamakan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Keterampilan belajar merupakan dasar agar anak selalu tertarik belajar sepanjang hidupnya. Keterampilan belajar ini meliputi kemampuan mengenal dan menerima dirinya sendiri, rasa ingin tahu yang besar, inisiatif, tanggung jawab menyelesaikan tugas secara mandiri dan kelompok, menyelesaikan masalah, serta kemampuan bekerja sama dengan orang lain.

Mutiara mengingatkan, proses belajar anak masih panjang, sekitar 15 tahun atau bahkan 20 tahun lagi. "Jika awalnya tidak menyenangkan, bagaimana selanjutnya?"

Pendidikan prasekolah yang ideal, kata peraih gelar Master of Science in Education dari University of Groningen, Belanda itu, adalah yang bisa mencetak manusia cerdas seutuhnya. Bukan hanya mampu menulis, membaca, dan berhitung saja, tapi juga harus cerdas secara fisik, intelektual, emosi, dan spiritual.

Kecerdasan fisik, misalnya, bisa membuat anak berlari atau melompat. Kecerdasan intelektual membuat anak berkemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Cerdas emosi membuat anak mampu merespons setiap peristiwa sosial di sekitarnya. Sedangkan cerdas spiritual tidak hanya membuat anak bisa mengamalkan nilai-nilai yang diajarkan agama saja, tapi juga mengenai cinta kasih sesama makhluk hidup.

Mutiara sangat menyayangkan pendidikan prasekolah yang hanya mengajarkan anak membaca, menulis, dan berhitung. Anak akan minim pengetahuan dalam keterampilan belajar. Bahkan, bisa menyebabkan anak menjadi tidak mau belajar lagi karena terlalu dipaksa. "Keunggulannya mungkin anak lebih cepat bisa membaca, menulis, dan berhitung," jelas Mutiara.

Pendidikan prasekolah yang mengajarkan keseimbangan antara intelektual, emosi, spiritual, dan fisik, lebih banyak positifnya ketimbang negatifnya. "Kelemahannya mungkin hanya kemampuan membacanya agak lambat," ujarnya.

ERWIN DARIYANTO

Memilih untuknya:

1. Perhatikan:
- Karakteristik anak. Pertimbangkan kepribadiannya, gaya belajar, serta kebutuhan khususnya.
- Karakteristik keluarga, seperti nilai keluarga, kemudahan transportasi, dan kemampuan finansial.
- Karakteristik sekolah, seperti filosofi sekolah, kurikulum, metode belajar, keamanan, dan reputasi.
2. Datanglah ke sekolah untuk mengetahui visi, misi, dan penerapan kegiatan belajar-mengajar.
3. Percayalah pada "insting" saat berkunjung ke sekolah.
4. Sesudah menentukan sekolah:
- Siapkan mental anak. Bacakan cerita atau menonton film tentang asyiknya bersekolah.
- Ajak anak berkenalan dengan guru sebelum sekolah mulai.
- Ajak anak menyiapkan tas dan keperluan sekolahnya sebelum hari H.
- Beri dukungan terus-menerus. Orang tua sebaiknya juga memantau apa yang dilakukan anak di sekolah dan membantu berpartisipasi di sekolah semampunya.tempointeraktif.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar