Pendidikan dengan Ketakukan-Ketakutan

Sebuah ilustrasi di sebuah SD, seorang guru coba memperlihatkan bagaimana efek bensin terhadap makhluk hidup. Dia memasukkan seekor cacing ke dalam gelas berisi air, dan seekor cacing lagi ke dalam gelas berisi bensin. Beberapa lama kemudian cacing di dalam gelas berisi bensin mati, sedangkan cacing yang dalam gelas berisi air tetap hidup. Lantas guru bertanya pada muridnya, apa kesimpulan yang dapat kalian ambil. Seorang murid kreatif lansung menjawab, ‘kalo kita minum bensin, kita tidak akan cacingan’ katanya polos. Tapi sayang gurunya lansung saja meyalahkan. Kreatifitas dan imanjinasi belum apa-apa sudah lansung dibunuh.

Pendidikan yang baik tentulah pendidikan yang didukung oleh suasana pendidikan yang memberikan ruang seluas-luasnya untuk kreatifitas dan inovasi. Pendidikan harus dibebaskan dari ketakutan-ketakutan yang menyelimutinya, sebab pendidikan itu adalah alat untuk membebaskan manusia dari dari kebodohon, kemiskinan dan ketidakpastian. Maka menjadi lucu ketika pendidikan yang seharusnya menjadi alat pembebasan itu justru dirinya sendiri terbelenggu.

Proses belajar mengajar membutuhkan suasana belajar yang enak, tanpa tekanan-tekanan dan ketakutan-ketakuan yang dapat menenggelamkan ide, kreasi, dan inovasi, Situasi belajar, kondisi psikis, kondisi lingkungan, pemilihan waktu, tata letak ruangan, sampai alunan musik pun mempengaruhi seseorang dalam mencerna pelajaran. Diperlukan keseimbangan antara otak kanan yang lebih bersifat analisis, matematis dan rasio dengan otak kiri yang lebih bersifat rasa, psikis dan seni.

Seperti ketika biasanya seoarang anak murid yang bersalah, lantas dia dihukum berdiri di depan kelas sambil memegang telinga dan mengangkat salah satu kakinya. Benarkah ini? Tidakkah ini membuat si murid jadi harus menanggung malu dihadapan teman-temannya? Dan dia sendiri tidak bisa mengikuti pelajaran. Mungkin maksud guru tersebut baik, untuk memberi pelajaran. Tapi bisa jadi bukannya pelajaran yang didapat dari sang guru, namun malah dendam. Syukur-syukur murid lain jadi takut melakukan kesalahan serupa, tapi kalo jadi takutnya kepada guru?

Jangan-jangan pendidikan seperti inilah yang membentuk masyarakat kita. Seperti yang biasa kita lakukan dalam mematuhi peraturan lalu lintas. Yaitu bukan karena kesadaran bahwa mematuhi peraturan adalah untuk keselamatan dan ketertiban bersama, tapi karena takut ada polisi. Seperti seseorang yang menerobos lampu lalu lintas saat lampu merah. Ketika dicegat polisi;

’Kenapa kamu menerobos lampu merah?”
‘Saya tidak lihat pak?”
‘Bagaimana mungkin lampu lalu lintas, sebesar dan sejelas itu,tidak kelihatan oleh kamu?’
‘Maksud saya, saya tidak melihat ada Bapak berdiri di sebelah sana?”
????????(sumber:http://aufahadi.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar